Wes ana Qadha’ Qadar, Lapo Gupuh Whoi? (Sudah ada Qadha’ Qadar, Ngapain Resah Whoi?)

Manusia, adalah sebuah masterpiece ciptaan Tuhan. Dalam diri manusia terdapat perangkat yang sudah sangat lengkap. Secara rohani, perbedaan yang mendasarinya dengan makhluk lain adalah karena manusia dipinjami setitik “organ” yang merupakan ujung jariNYA, yaitu akal, dan secuil bagian dariNYA, yaitu kehendak. Kalau batu, tumbuhan, hewan, tak ada pilihan lain baginya selain “manut pol” dengan “remote control” Tuhan. Pun juga demikian dengan Malaikat dan Iblis, tak ada pilihan selain menjalankan peran dari Allah SWT. Hewan + Akal = Manusia, sehingga manusia mempunyai kehendak, keinginan dan pilihan yang menjadikan manusia menjadi makhluk kemungkinan, menjadi baik atau buruk.

Kesempurnaan dan kelengkapan manusia juga terletak pada emosi atau responnya terhadap hasil dari kehendak dan keinginannya, yaitu senang dan sedih. Itulah yang membuat manusia jangkep, wutuh, wungkul. Tidak ada manusia yang senang terus dan tidak ada manusia yang sedih terus. Sesenang apapun seseorang pasti ada sedihnya, sesedih apapun seseorang pasti ada senangnya. Tinggal bagaimana kita menyeimbangkan antara keduanya, meramu antara sedih dan senang, stress dan syukur, menjadikan hal paradoks tersebut menjadi pendulum yang bergerak ke titik keseimbangan.

Orientasi manusia jaman now hanya mampu mengartikan senang adalah ketika harapan sesuai kenyataan, dan sedih adalah kenyataan tidak sesuai keinginan. Manusia banyak menjadikan Nabi sebagai tangan untuk membenarkan segala tindakan, dan Tuhan direkrut sebagai staff ahli pengabul do’a karier, jabatan dan apa-apa yang disebut manusia modern sebagai sebuah kesuksesan. Tuhan dipaksa setiap hari untuk menuruti apa kata makhlukNya, diatur-atur, bahkan tidak jarang ditipu, seakan-akan yang paling tahu adalah si manusia, sedangkan Tuhan dianggap sebagai pihak yang perlu dikasih tahu. “Ya Allah, yang baik bagi saya ini begini loo, saya nanti akan bahagia kalau Panjenengan beri itu, saya kan sudah sholat, ibadah, tahajjud, berdoa, sedekah, wiridan. lah yo mbok dikabulkan keinginan saya itu, panjenengan kan Maha Kuasa, tinggal “Kun” gitu aja ke saya apa susahnya sih. Begitu kata manusia kebanyakan (termasuk penulis, dan yang baca juga, hihi)

Kyai saya pernah dawuh kepada saya: “kebahagiaan itu terwujud jika kita menjalankan aturan. Sedangkan kesenangan terjadi ketika kita menjadikan keinginan, selera, kepentingan bahkan nafsu sebagai tolak ukur. Kita akan kenal Rahman Rahim Allah dan dapat kita rasakan kalau kita taat aturan Tuhan, itulah sejatinya kebahagiaan”. Dari dawuh itu, saya kemudian mentadabburi dan menyimpulkan, ternyata jika manusia mendasari dirinya hanya pada keinginan yang dianggapnya baik bagi dirinya, berarti dirinya masih lebih rendah dari krakal, suket teki dan iwak gathul yang taat sepenuhnya dan saya kira hidupnya bahagia karena 100% taat dengan kehendak Alah. Dan  oo ternyata antara bahagia dan senang itu tidak sama, bukan sinonim. Ah, itulah kelemahan bahasa, tidak bisa menggambarkan dan mewakili dengan penuh apa yang menjadi isi hati (ciaaa).

Rancunya istilah penggunaan Bahasa Indonesia oleh masyarakat kita nampaknya sudah sangat serius. Ambil contoh kata meminta, menuntut, dan memaksa. Tiga kata ini akan salah penggunaannya ketika kita tidak memahami hak dan kewajiban. Secara simpelnya mungkin begini, orang meminta itu jika tidak diberi apa yang menjadi keinginannya, maka yang meminta tidak punya hak untuk marah karena yang memberi pun tidak punya kewajiban untuk memberi. Jika yang meminta itu bersikap marah dan mengharuskan seseorang untuk memberi padahal tidak ada hubungan hak kewajiban disitu, itulah yang disebut memaksa. Sedangkan menuntut adalah, sikap memaksa kepada pihak yang mempunyai kewajiban untuk memenuhi kehendaknya karena memang mempunyai hak-hak untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki itu. Berarti penodong itu masuk klasifikasi memaksa, buruh tak digaji demo termasuk menuntut, sedangkan kamu ke temanmu masalah thethering hotspot adalah meminta. Dasar kere.

Pertanyaannya sekarang, dimana letak posisi sikap kita selama ini kepada Tuhan? meminta, menuntut, ataukah memaksa? Dan bagaimana sikap kita seharusnya kepada Tuhan? meminta, menuntut, ataukah memaksa? Kalau kita menganggap kita punya hak sama Tuhan, kayaknya dalam setiap doa itu kita menuntut Tuhan, lebih parah lagi memaksa. Kita Nduwe hak apa nang Tuhan? Maka saya kira sikap kita yang paling tepat adalah meminta. Dikasih ya terimakasih, ndak dikasih ya ndak apa-apa, ya sudah biasa ndak dikasih. Apa kita sholat, puasa, sholat dhuha, tahajjud, sedekah, wiridan, kita jadikan sebagai aksi “menuntut upah” kepada Tuhan? Kok Tuhan kayak mau nipu kita saja, perlu dituntut.  Ataukah kita lakukan itu semua untuk mbayar utang dan pengorbanan cinta? Pilih mana.

Seorang “Guru Rakyat”, Emha Ainun Nadjib pernah mengajarkan kepada saya, secara tidak langsung, kira-kira begini: Ya sudahlah memang saya pantasnya ndak dikasih ya ndak apa-apa, takdir saya begini ya ndak apa-apa sengsara ya ndak masalah, asalkan Engkau ndak marah padaku ya Allah, La Uballi (tidak masalah). Asalkan karena itu Tuhan menjadi sayang padaku uuu uu… Ini terkait juga dengan Tadabbur Mbah Nun mengenai 4 jalan dalam islam, yakni Sabil, Syari’ Thariq dan Shirat. Dalam manusia berkeinginan dan berkehendak, Sabil atau Arahnya sudah tentu ke Allah, terwujud atau tidak terwujud perolehan goal/tujuan /Shirat tentunya kita harus “La Uballi”. Shirat atau hasil akhir kalau menurut saya sudah merupakan Takdir atau Qadha’ Qadar dari Allah. Sebuah rahasia yang sudah pasti, dan sengaja dibuat rahasia oleh Allah supaya manusia yang berorientasi pragmatis maupun yang berorientasi “Qadariyyah” atau “Jabbariyah” tetap mau melaksanakan Syari’ (aturan dasar) dan Thariq (strategi meraihnya). Ibaratnya orang main kartu remi, dia tetap mau main dengan aturan remi (Syari’) dan strategi-strateginya (Thariq). Untuk presisi Shirat, hasil akhir siapa yang menang, sudah ditulis lebih dulu oleh Allah di “Buku Takdir” karena sudah menjadi Qadha’ Qadar, dan akan “manjing” setelah Syari’ dan Thariq dijalani.

Bayangkan jika sebelum main remi, siapa yang menang sudah diketahui, atau pada waktu main remi ndak ada rahasia, kartunya dibuka semua, buyar kabeh gak sido maen. Mohon maaf bagi islam-islam garis lurus saya mencampurkan Syari’ (yang sekarang diartikan sempit dan sensitif) dengan main kartu remi, jangan-jangan saya nanti dihakimi menghina syariat islam dan menista agama, saya kan takut, hehe.

Mbah Nun juga pernah mengatakan bahwa Tuhan tidak mewajibkan menusia untuk berhasil, sehingga gagal pun tidak berdosa, tetapi Tuhan mewajibkan manusia berjuang maksimal. Yang diwajibkan adalah Berusaha dan berdoa. Itu berarti menjalani Syari’ dan Thariq, walaupun hasilnya sudah berada dalam genggaman Tuhan yang menjadi Qadha’ Qadar. Walaupun setelah berusaha dan berdoa yang sudah dianggap maksimal, kemudian keberhasilan atau Shirat tidak diraih, Apakah itu disebut gagal dan patut membuat kita bersedih (terus menerus)? Bagi manusia jaman now yang orientalis materiil mungkin itu dianggap gagal, tapi kalau kita ingat perintah Allah, jika Syari’ dan Thariq kita sudah tepat kita jalani, La Uballi bagaimana hasil Shiratnya, kita adalah berhasil dihadapan Allah, berhasil dengan kacamata nilai akhirat.  Kenal dan merasakan Rahman Rahimnya. Pilih mana berhasil di dunia gagal di akhirat? Atau gagal di dunia berhasil di akhirat? Aku ngerti jawabanmu, ya berhasil di dunia ya berhasil di akhirat, Fid Dunya Hasanah Wa Fil Akhirati Hasanah. Dasar kemaruk.

Jika memakai kacamata Dunia, Nabi Nuh pun gagal mengajak putranya untuk iman kepada Allah. Nabi Luth pun juga gagal mengajak istrinya untuk menyembah Allah. Apakah beliau dicap gagal oleh Allah? Sayyidina Umar, Utsman, Ali, Kasan Kusein, semua meninggal dengan cara terbunuh, apakah berarti Allah tidak Rahman Rahim kepada beliau-beliau dan Rasulullah gagal memintakan kepada Allah agar para Shahabatnya kelak tidak terbunuh? Saya kira tidak, karena Allah melihat Syari’ dan Thariq yang beliau kerjakan sudah tepat. Apakah tukang becak yang tiap hari bekerja keras mancal pedalnya, tapi ndak sugeh-sugeh berarti dia tidak sukses? Ataukah pejabat berjas berdasi yang kaya dari korupsi berarti sukses dan berhasil? Kacamata apa yang kita pakai?

Kita juga harus ingat bahwa kita punya kehendak Allah juga punya kehendak, tapi yang berlaku adalah kehendak Allah.  Lha wong Nabi saja ada yang gagal (secara hasil dunia), apalagi dapuranmu (dan dapuranku juga). Jadi, masihkah kita sedih terus menerus jika kehendak dan keinginan kita tidak terwujud? Masihkah kita salah sangka kepada Allah? Sedihlah jika tidak sesuai dalam menjalani Syari’ Dan Thariq dalam urusan kita, tetapi jangan sedih dan salah sangka jika Shirat tidak terwujud. Jangan tuntut Allah karena tidak diberinya keinginan kita, tapi tuntutlah diri kita atas kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah.

Sudahlah, kerjakan saja apa yang Allah perintahkan kepadamu, kamu sudah tahu Sabilmu, ke Allah, jalani saja Syari’ dan Thariq Allah, Shiratmu sudah pasti dan bukan urusanmu, jangan menuntut kepastian Tuhan, itu bukan urusanmu, itu urusan Allah, kepastian untukmu hanya berjuang, aja rewel ngrusuhi urusane Tuhan. Pokoknya nanduro, lemahe paculen sing apik, kamu pupuk, kamu sirami, jangan mencuri pupuknya tetangga, tumbuh gak tumbuh, panen gak panen biar Allah dan malaikatNya yang ngurusi. Kamu hanya boleh meminta kepada Allah, bukan memaksa atau menuntut. Mencari rahasia tuhan, sejatinya kebahagiaan, memijakkan kaki di bumi kenyataan (Lirik lagu semau-maumu). Sudah ada Qadha’ dan Qadar nya masing-masing, Lapo awakmu gupuh whoi? (Kata penulis kepada diri penulis sendiri, kalau ada yang ngerasa tersenggol ya maap, hehe).

*Nb: mohon maaf jika istilah-istilah nya kurang pas, karena sekali lagi, bahasa dan tulisan tidak mampu mewakili dengan sempurna apa yang menjadi isi hatiku. Maka dari itu Tuhan sepertinya memerintahkan manusia membuat warung kopi supaya kita bisa ngobrol, ketemu rasa. Asem tenan.

Tulisan ini telah dimuat di laman www.bangbangwetan.org dan Buletin Maiyah Jawa Timur, dengan sedikit penyesuaian editing.

Jurnalis : Dian Eko Restino/ @dian_eko_restino
Editor : Nazilatul Maghfirah/ @zila_fira
Publisher : Wid Dwi Bowo/ @tvpendidikan_official

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *