Oleh: Nova Alya Wardani*
Juara 1 Lomba Essay Hari Pahlawan Bakesbangpol Surabaya
Seperti yang kita tahu, Indonesia adalah negara yang berlandaskan Pancasila. Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa, yang artinya setiap perilaku kita haruslah mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Saya Nova Alya Wardani, siswa SMPN 10 Surabaya, termasuk orang yang mendukung perkembangan dan berupaya untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila. Menurut saya, pahlawan bukan hanya sebutan bagi orang-orang yang ikut berperang. Kita, sebagai pelajar dan generasi milenial sudah seharusnya bisa menjadi pahlawan pada saat ini maupun di masa depan. Mengapa demikian? Karena kita satu-satunya generasi yang menentukan arah Indonesia. Kiprah prestasi dan nasionalisme kita ditunggu untuk menjadi generasi pembaharu bangsa.
Dari kecil saya selalu diajarkan untuk beribadah, terutama salat lima waktu. Dulu saya kira salat adalah hal yang tidak terlalu penting untuk dilakukan. Namun, setelah saya beranjak dewasa saya mulai mengerti arti salat yang sebenarnya. Bukan hanya sekedar menunaikan kewajiban kepada Tuhan, tetapi juga untuk mencerminkan sila pancasila yang pertama. Ketuhanan yang Maha Esa.
Baca juga:
Sila pertama ini merupakan sila yang paling penting. Karena sila pertama menjadi pondasi keempat sila lainnya. Saya meyakini bahwa setiap agama yang diakui negara Indonesia mengajarkan kebaikan dan tidak akan mengajarkan keburukan ataupun kebencian. Maka, wujud dari pengamalan sila pertama adalah berusaha untuk mengamalkan nilai-nilai dari keempat sila lainnya. Karena, selain beribadah kepada Allah (hablunminallah), kita juga harus berakhlak mulya kepada manusia (hablunminannas) dan berbakti kepada nusa bangsa.
Kita bisa memulai dari hal yang paling kecil dan sederhana. Sebagai pelajar saya harus selalu ikut berkontribusi dalam mengembangkan tatanan sekolah. Bukan hanya dari segi raganya, tetapi juga jiwanya. Saya berusaha untuk bersikap sopan kepada siapapun, baik kepada guru, teman sebaya, maupun adik kelas. Saya juga berupaya untuk mentaati peraturan sekolah. Beberapa hari lalu, SMPN 10 Surabaya juga memperingati hari pahlawan dengan mengadakan lomba-lomba yang mendidik dan memerintahkan warganya untuk mengenakan kostum pejuang. Dengan hal seperti ini, membuat jiwa nasionalisme warga sekolah tumbuh dan berkembang.
Namun, masih sering saya temui perilaku menyimpang yang mengitari kehidupan sehari-hari di kalangan pelajar. Ucapan kata-kata yang tidak pantas, jorok, yang sering diistilahkan toxic. Jika kita menyadari, tidak sedikit orang yang mengutarakan kalimat toxic tersebut, bahkan orang-orang terdekat kita sekalipun. Motifnya adalah karena ingin terlihat keren (yang sebenarnya justru sebaliknya) dan bisa juga karena ikut-ikutan pergaulan yang tidak terarah.

Nasionalisme bangsa Indonesia adalah jiwa-jiwa yang menjunjung tinggi adat ketimuran. Indonesia sebagai bangsa timur ditandai dengan sifatnya yang ramah dan sopan santun terhadap orang lain, bahkan orang asing sekalipun. Tutur kata yang lemah lembut merupakan salah satu ciri khas adat ketimuran Indonesia. Selain itu cara berpakaiannya cenderung tertutup dan menjunjung tinggi rasa malu. Hal itu yang membuat bangsa Indonesia banyak dihormati oleh negara lain.
Seperti yang saya tahu, globalisasi dan perubahan sosial budaya pasti akan dialami oleh setiap negara, juga Indonesia. Dengan adanya perkembangan zaman dan pengaruh kebudayaan lain membuat adat ketimuran di Indonesia mulai pudar. Misalnya yang sedang marak sekarang ini adalah kasus etika pada media sosial. Media sosial seolah menjadi dunia bebas tanpa aturan. Tidak sedikit netizen menyalahgunakan media sosial sebagai bahan untuk mengomentari orang lain dengan ujaran kebencian.
Hal ini dibuktikan dengan survei dari Microsoft tentang tingkat kesopanan pengguna internet pada tahun 2020. Survei berjudul “Digital Civility Index (DCI)” menempatkan netizen Indonesia pada urutan 29 dari 32 negara yang disusrvei. Atau netizen dengan tingkat kesopanan terendah se-Asia Tenggara. Tentu hal ini bukanlah sebuah prestasi, apalagi prestasi yang patut dibanggakan.
Baca juga:
Bagi para pecinta olahraga, tentu kita masih ingat dengan kasus All England tahun 2021 lalu. Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) menggelar ajang tahunan All England di Utilita Arena, Birimingham. Namun, BWF ‘memaksa’ tim bulutangkis tanah air untuk mundur dikarenakan Nasional Health Service (NHS) menyatakan bahwa ada penumpang yang positif Covid-19. Dan hal tersebut membuat fans bulutangkis dan netizen Indonesia marah serta kecewa terhadap All England. Sehingga mereka melampiaskannya dengan melaporkan akun Instagram All England hingga lenyap. Tidak hanya itu, kolom komentar pada setiap postingan akun All England dibanjiri netizen Indonesia dengan caci-maki.
Apakah kasus yang seperti ini dapat disebut sebagai nasionalisme? Menurut saya peristiwa tersebut masih terkait dengan nasionalisme tetapi nasionalisme yang negatif. Mengapa? Para netizen Indonesia sangat mencintai bangsanya sehingga tidak akan membiarkan Indonesia ditindas atau dirundung oleh bangsa atau orang lain. Kekompakan dan nasionalisme Indonesia memang patut diacungi jempol. Namun, hal itu juga dapat membuat bangsa lain memandang buruk tanah air karena dianggap sebagai negara pengibar bendera kebencian.
Lalu, kejujuran seolah menjadi barang langka di negeri ini. Di kalangan pelajar, masih sering kita temui peristiwa mencontek. Satu kata yang hampir semua siswa pernah melakukannya. Demi mendapatkan angka yang sempurna dan maksimal, nilai kejujuran tidak lagi dianggap penting. Kita tahu bahwa hal itu adalah salah, tapi apakah kita berhenti melakukannya? Sebagian besar tetap melanjutkan hal itu, dengan alibi ‘kerjasama’. Tidak sedikit juga yang mengandalkan temannya. Lebih parahnya lagi, orang yang mencontek nilainya lebih tinggi ketimbang orang yang memberi contekan. Alhasil, kalangan pelajar hingga mahasiswa kita darurat plagiasi.
Tidak hanya itu, beberapa bulan terakhir banyak disiarkan kasus kriminalitas, korupsi, dan narkoba yang merajalela. Mirisnya, itu juga banyak dilakukan oleh kalangan elit pejabat. Keadilan yang merupakan hak seluruh bangsa Indonesia, kini seolah terganti menjadi keadilan bagi seluruh warga yang ‘berada’. Sistem Pancasila yang dianut harus dicari dan digali kembali makna yang sebenarnya. Karena, kesalahan yang dilakukan oleh siapapun harus mendapat hukuman sesuai undang-undang yang berlaku. Kejujuran harus dijunjung tinggi. Jika tidak, bukankah hal ini sangat tidak adil?

Kita juga harus mewaspadai pihak-pihak yang ingin menghancurkan bangsa melalui penghancuran gerenasi muda.Salah satunya melalui narkoba. Berdasarkan laporan berjudul Indonesia Drugs Report 2022 yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian, Data, dan Informasi Badan Narkortika Nasional (Puslitdatin BNN), terdapat 53.405 tersangka kasus Narkoba di Indonesia per bulan Juni 2022. Berdasarkan penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) di 2017 saja, jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia mencapai lebih dari 3 juta orang pada kelompok usia 10 hingga 59 tahun. Menurut data BNN, 37 hingga 40 orang di Indonesia meninggal setiap harinya akibat narkoba. Dan Sebagian besar dari mereka adalah generasi muda di usia produktif.
Generasi muda seperti kita adalah generasi labil yang suka mencoba hal-hal baru. Kita akan mudah terpengaruh oleh hal buruk jika tidak mempunyai dasar dan pendirian yang kuat. Kasus narkoba selalu menjadi topik perbincangan yang tidak ada habisnya. Banyak sekali pemuda yang mengonsumsi narkoba karena pergaulan yang salah. Dasar mereka terhadap agama dan keimanan kepada Tuhan yang Maha Esa yang tercermin dalam sila pertama belum tertanam dalam jiwa raga. Pemuda semacam ini sangat patut kita sayangkan. Dimana mereka harusnya bisa berbuat sesuatu yang positif untuk keluarga dan bangsanya, tetapi justru melakukan hal yang sia-sia hingga merenggut nyawa.
Mengapa penyimpangan-penyimpangan tersebut banyak terjadi? Banyak faktor yang membuat seseorang tidak mampu untuk mencerminkan sikap nasionalisme melalui pengamalan nilai-nilai Pancasila. Menurut saya, semua berangkat dari faktor keluarga. Penyimpangan nilai-nilai Pancasila dapat diawali dari kurangnya kasih sayang dan banyaknya permasalahan yang terjadi dalam lingkup keluarga. Dampak dari keluarga bagi karakter remaja sangat berpengaruh.
Keluarga merupakan rumah pendidikan pertama dan utama bagi anak-anaknya. Al-Madrasatul ‘Ula. Jika di dalam keluarga saja tidak mendukung perbaikan karakter pada anak, apalagi dalam pergaulan dan sekitarnya. Anak akan cenderung mencari kebebasan pada lingkup pertemanan, dan jika anak tersebut salah memilih pergaulan, maka perilakunya akan banyak menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. Saat perilaku kita tidak mencerminkan nilai Pancasila, nasionalisme dalam diri kita juga perlahan akan sirna. Lalu, bagaimana upaya kita untuk menghindari dan mencegah hal-hal tersebut agar tidak semakin merajalela?
Baca juga:
“D’Signal Band SPENLUSA Raih Juara 3 Festival Band SMK Satya Widya“
Menurut saya, berkomunikasi dengan anggota keluarga terutama orang tua sangatlah perlu. Kita bisa mencurahkan sedikit demi sedikit perasaan dan masalah yang pernah kita alami. Selain itu, memperbanyak relasi yang positif juga dapat membantu kita untuk terus mewujudkan nilai-nilai Pancasila dan mencegah pergaulan bebas terjadi. Teman-teman yang suka mengingatkan, menasehati, dan menegur perihal kebaikan adalah teman yang sesungguhnya. Karena jika ia benar-benar menyayangi kita, maka ia tidak akan membiarkan kita melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma.
Selanjutnya yang dapat dilakukan bagi pelajar seperti kita adalah bangga terhadap kehidupan bangsa yang telah merdeka sejak 77 tahun lalu ini. Dengan rasa bangga maka nasionalisme yang terpatri dalam jiwa kita. Kita tidak akan mau mencoreng kebiasaan atau nama baik Indonesia dengan melakukan hal-hal negatif yang bertentangan dengan nilai Pancasila.
Para generasi muda harus menjadikan para pahlawan sebagai teladan mereka. Kita harus tahu bahwa Surabaya sebagai kota pahlawan, telah menggembleng banyak pahlawan bangsa. Bung Karno Sang Proklamator, dulu menimba ilmu di Peneleh, Surabaya, berguru kepada H.O.S Tjokroaminoto. Beliau jugalah yang mengumandangkan “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Hingga peristiwa 10 November dimana Bung Tomo memekikkan “Merdeka atau Mati”. Hal itu juga tak terlepas dari Fatwa Jihad KH. Hasyim Asy’ari yang terkemuka dengan dawuhnya: “Hubbul Wathon Minal Iman”. Cinta tanah air adalah sebagian dari iman.
Jiwa nasionalisme yang diturunkan dari para pahlawan terdahulu harus tetap terpatri dan terjaga demi kedaulatan Indonesia. Memang tidak mudah rasanya untuk mewujudkan setiap bulir nilai-nilai Pancasila. Jika orang-orang terdahulu disebut pahlawan karena berperang di medan pertempuran. Maka kita generasi milenial adalah orang-orang yang juga pantas disebut pahlawan, jika masih memiliki jiwa Pancasila dan nasionalisme.
Jika bukan sekarang, kapan lagi. Jika bukan kita, siapa lagi. Wahai Para Pemuda!

*Penulis adalah siswa yang saat ini sedang menempuh pendidikan di SMPN 10 Surabaya kelas IX-E
HUMAS SPENLUSA
2 thoughts on “Pengamalan Nilai Pancasila Sebagai Wujud Nasionalisme Pemuda”