Cerpen: ” Jam Pasir “

Oleh : Melodi Lintang Naura

    “Cepat Queena, sudah setengah tujuh!”
    “Sebentar Maa”, jawabku sambil memoles lipbalm.
     Nampak bayangan cermin memantulkan wajah cantikku dengan rambut indah bergelombang. Ini terlihat sempurna.

     Setibanya di sekolah, aku segera menuju ke ruang kelas sembilan dengan berlari kecil mengingat sekarang sudah jam tujuh kurang sepuluh menit.

     “Halo kak Queen”, sapa anak kelas tujuh, yang aku tak ingat namanya.
     “Halo dek”, jawabku ramah sembari tersenyum.
     Siapa yang tidak mengenalku di sekolah ini. Penampilanku cukup menarik, ralat, sangat menarik. Setelah masuk ke kelas, aku duduk di dekat sahabat-sahabatku, yaitu Nara dan Cheryl.
  “Queen, Cher, nanti pulang sekolah main ke rumahku yuk”, ajak Nara semangat.
  “Gak bisa, sebentar lagi kan ujian, aku mau belajar”, jawab Cheryl muram.
   “Eh itu aku ada kegiatan sepulang sekolah seperti biasa”, jawabku sembari tersenyum.

   Sore ini di backstage dalam sebuah mall di Surabaya, aku menjalani rutinitas di sela-sela kesibukan sekolah.

     “Sudah cantik nih”, kata kak Yoga.
     “Terimakasih kak”, jawabku senang.
     Aku menatap bayanganku di cermin, makeup tipis, rambut sanggul kecil, gaun cream dengan aksen brokat selutut, serta sepatu putih dengan baret keemasan. Oke, aku siap tampil di catwalk.

Baca juga:

“Oh My Brush Pen”

Beberapa minggu setelah aku tampil di catwalk, entah mengapa aku merasa ada yang tak beres dengan tubuhku akhir-akhir ini. Aku yakin ini karena efek dari kecapekan.

Siang yang panas bersamaan dengan pelajaran Matematika. Kepalaku semakin pusing dan juga mual. Hmm.. kenapa harus saat pelajaran sih. Aku berusaha menahannya setidaknya sampai pelajaran usai dan aku langsung ke kamar mandi.

Terlambat, aku sudah memuntahkan isi perutku di kelas. Guru dan teman-temanku langsung menghampiriku. Ruang kelas terlihat semakin buram dan aku sudah tak sadarkan diri.

Terbangun di ruang UKS adalah hal terakhir dalam daftar keinginan yang akan aku lakukan di sekolah. Tentu, siapa yang mau sendiri disini, lebih baik tadi aku diantar pulang saja, daripada aku melihat hantu dibalik kelambu hijau ini.
     “Queen, kenapa bisa gini sih?”, tanya Cheryl.
     “Apa kamu gak makan tadi pagi? Kamu sudah sakit dari tadi pagi? Bagaimana rasanya tidur di UKS?”, cerocos kedua sahabatku.
     Pertanyaan bertubi-tubi membuat aku hanya menggelengkan kepalaku. Tapi tetap saja aku senang mereka mengkhawatirkan aku.

     “Queen, Bu Laras tadi sudah telfon mamamu, sebentar lagi kamu pasti dijemput”, Kata Cheryl.

Aku meminum obat muntah dan penurun panas dari dokter karena nyatanya aku demam saat ini. Aku tidak masuk sekolah karena masih lemas.

     Malam harinya aku tak bisa tidur karena dadaku sakit juga tubuhku berkeringat padahal suhu ruangan kamarku sudah dingin. Sebenarnya aku tidak merasa kepanasan sama sekali. Aku memutuskan untuk mengambil air minum karena tenggorokan sedikit sakit.

     “Kamu yakin kuat sekolah?” tanya mama yang nampak khawatir dengan keadaanku.
     “Yakin Maa” jawabku meyakinkan.

Baca juga:

“Record of My Youth (Twenty-Twenty)”

     Libur lima hari seharusnya sudah cukup walaupun aku merasa berat badanku semakin menurun dan kulitku tampak tidak sehat.

     “Ya ampun Queen kamu kok kurus banget”, kata Nara heboh.
     “Kamu kan belum sepenuhnya sehat, ngapain masuk sekolah”, ucap Cheryl khawatir.
     “Udah nggak apa-apa”, jawabku sambil tersenyum.

     “Lah Queen kok tinggal tulang belulang? udah kayak pecandu narkoba, cantikmu jadi hilang loh, upssiee“, ejek Jessica sambil terkekeh geli.
     “Otakmu mungkin yang hilang, dia kan habis sakit kamu lupa, atau emang bodoh?”, kata Cheryl emosi.
     “Bukan hilang Cher, tapi gak punya aja”, timpal Nara.
     “Udahlah…”, aku menarik pergelangan tangan Cheryl dan Nara pergi, karena menurutku percuma berdebat dengan Jessica.

     Saat pelajaran aku merasa beberapa pasang mata memperhatikanku, apa penampilanku benar-benar berubah drastis sampai teman-temanku memperhatikanku terus.

     “Nggak usah dipikirkan”, gumam Cheryl pelan sehingga hanya aku yang mendengarnya. Rupanya dia juga tau apa yang sedang aku pikirkan. Aku hanya mengangguk.
    Waktu berlalu begitu cepat hari ini ada ujian sekolah yang terakhir. Aku menatap bayanganku di cermin, wajah cantik yang aku banggakan kini terlihat kurus, sebagian menghitam, bibir pucat, dan rambut juga kulitku tak terlihat sehat seperti dulu.

     “Guys, tempat pensil ku ketinggalan, gimana ini?”, ucap Nara yang tiba-tiba dengan histeris.
     “Yaudah nih“, kataku sambil menyodorkan pensil, yang malah jatuh dan menggelinding di lantai kelas. Aku spontan menunduk kebawah meja untuk mencarinya.
     “Hey lihat!, sang ratu penyakitan lagi nyari obatnya yang hilang”, suara Jessica dan tawa nyaring teman-teman lain membuat mataku perih menahan tangis.

     Jam ujian matematika benar sunyi, aku bertekad untuk bisa menyelesaikan ujian ini, walaupun kepalaku semakin pusing dan betapa kagetnya aku saat darah menetes di keyboard komputer ku.

     “Queen, Pak.. Queena mimisan”, teriak Raviel panik dan beberapa pasang mata melihatku. Kepalaku semakin pusing, pandangan buram, hidung dan bibirku terakhir basah karena darah.

     Indera pendengaranku menangkap sebuah suara tangisan yang menyedihkan. Aku membuka mataku dan melihat Mama  menangis sampai tak tahu aku telah sadar.

Baca juga:

“Pemalas Berujung Kesadaran Diri”

    “Ma, aku kan harusnya ujian”, kataku panik.
    “Sayang, udah gak usah dipikirin”
     “Sayang dengerin mama ya, apapun yang terjadi kamu harus yakin mama selalu ada buat kamu, jadi kamu yang kuat ya, kamu harus semangat”, ucap mama terisak sambil mengelus  kepalaku. Aku masih diam menunggu kata selanjutnya.
     “Setelah beberapa tes kamu divonis mengidap penyakit kanker darah stadium 3, tapi kamu pasti bisa sembuh kok, pasti bisa”, ucap Mama terlihat tegar.
    Langit seakan runtuh, tangisanku pecah mama memelukku erat menenangkanku.

     Hidup sebagai penderita kanker bukanlah hal yang mudah, setiap hari aku harus meminum beberapa obat dan dua minggu sekali harus datang ke rumah sakit rehabilitasi kanker untuk menjalani kemoterapi yang berpengaruh pada penampilanku. Terdapat ruam ruam merah di beberapa bagian kulitku yang kering.

     Setelah kemoterapi aku menunggu papa menebus obatku yang habis, pandangan mataku jatuh ke anak kecil berumur sekitar enam tahun yang sangat cantik dia memakai jilbab merah muda dengan hiasan pita putih, dia duduk di kursi roda.

     “Bund, kena air”, pekik anak itu memanggil bundanya yang langsung sigap datang ke anaknya dan mengganti jilbabnya.
     Betapa terkejutnya aku, anak itu ternyata  botak, tapi dia terlihat ceria seakan tak ada beban.
     Aku benci kemoterapi, itu membuat rambutku rontok bahkan aku hampir botak sekarang. Aku terkadang berpikir bagaimana anak yang aku lihat saat itu bisa kuat, padahal usinya masih sekecil itu.

     “Halo kak”, aku terkejut mendengar suara anak kecil yang baru saja aku pikirkan.
     “Eh halo”, balasku sedikit kaku.
     “Kakak pasien disini juga?”
     “Iya”.
     “Kakak takut botak ya? Gak usah takut kak, nanti juga tumbuh lagi”, ucap anak itu sambil tersenyum menyenangkan.
     “Iyaa, nama kamu siapa?”
     “Nama aku Sheva”.

     Syok berat, ketika mendengar kabar anak yang kutemui dua minggu yang lalu, kemarin sudah meninggal . Lalu bagaimana denganku?

     “Ma, aku mau pakai jilbab”, kataku.
     “Jilbab?”
     “Iya ma, mama punya kan?”
     “Iya punya, sebentar ya, mama ambilkan”.

Entahlah aku tiba-tiba ingin sekali memakai jilbab seperti Sheva.

     “Kamu cantik sekali sayang”, puji mama setelah selesai memakaikanku jilbab.
     Aku semakin pasrah atas kehendak Allah dan juga semakin mendekatkan diri padaNya.

     Setelah menjalani bermacam-macam pengobatan selama setahun, aku dinyatakan sembuh saat ini. Aku, mama, papa, Cheryl, dan Nara menangis bahagia.

     Setelah penampilan fisikku yang memulih, ada hal yang sama sekali tidak kuduga, agency model yang menaungiku dulu menawariku untuk tampil di catwalk lagi. Namun, aku hanya akan menerima jika pakaian yang aku tampilkan busana muslimah. Aku telah nyaman memakai jilbab, merasa terlindungi, tenang, dan damai. Alhamdullilah aku sekarang juga di endorse sebuah produk busana muslim yang cukup punya nama. Meski rajutan asaku terkoyak tak terduga, tak membuatku berhenti melangkah.

     Hidup laksana jam pasir yang selalu dibolak-balik. Setiap butir pasir yang jatuh  mewakili detik waktu dalam tangis dan tawa. Tak ada yang abadi, semua kan berganti pada masanya.

Surabaya, ruang imajinasi.
12 Januari 2022

Baca juga:

Melodi Lintang Naura Bawa SPENLUSA Rengkuh Juara 2 Lomba Cipta Puisi Piala Wakil Walikota Surabaya

Penulis : Melodi Lintang Naura (8H) / @mellowaraa
Editor : Nazilatul Maghfirah/ @zila_fira
Publisher : HUMAS SPENLUSA

2 thoughts on “Cerpen: ” Jam Pasir “

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.