BK, (B)ukan (K)eranjang Sampah (Eps.2)

Halo sobat pendidikan, apakah kalian menunggu lanjutan tulisan saya? Iyain aja lah ya, biar saya senang. hehe..

Baik, setelah kemarin tanggal 9 Desember 2019 kita membahas tentang 5 misskonsepsi Bimbingan Konseling (versi saya) bertajuk “BK, (B)ukan (K)eranjang Sampah (Eps.1)“, kita kali ini saya akan mencoba melanjutkan tulisan episode kedua. Sekali lagi, tulisan ini bukan bertujuan untuk menggurui, tetapi untuk menambah wawasan dan meluruskan pemahaman kita bersama mengenai Bimbingan Konseling. Semoga bermanfaat…

6. Jam BK Tidak Hanya di Kelas 1-2 JP
Kita tentu sering mendengar kalimat-kalimat berikut ini:
Enak ya BK ngajarnya cuma satu jam di kelas?”
Enak ya BK gak buat soal ulangan dan ngoreksi ulangan?”
Dan yang paling menyakitkan: “Enak ya BK kerjanya cuma diem di ruang BK nunggu ada anak yang punya kasus?

Baca juga:

“BK, (B)ukan (K)eranjang Sampah (Eps.1)”

Menurut  Permendikbud 111 tahun 2014, pasal Pasal 6 Ayat 4 disebutkan bahwa layanan BK di dalam kelas (bimbingan klasikal) mendapatkan 2 jam per pertemuan. Layanan klasikal ini seperti guru yang mengajar di kelas pada umumnya, memberi penjelasan materi di dalam kelas. Tetapi masih banyak ditemui di lapangan, BK hanya diberi satu jam untuk pertemuan kelas, bahkan tidak diberi sama sekali.

Penting untuk diketahui, bahwa yang harus dikerjakan BK tidak hanya bimbingan klasikal tersebut. Ada juga layanan bimbingan kelompok, konseling (individu dan kelompok), layanan peminatan, konferensi kasus, alih tangan kasus, kunjungan rumah dan lain sebagainya. Dan itu dilaksanakan di luar jam kelas. Ambil contoh Home Visit, saya sangat sering berkunjung ke rumah siswa itu malam brooo… Karena harus menunggu kedua orangtua pulang kerja. Belum lagi rasio guru BK dan siswa masih banyak yang overload, dimana seharusnya 1 guru BK membimbing 150-200 siswa, tapi banyak guru BK yang harus membimbing lebih dari 500 siswa di sekolah.

Lalu, jika guru BK panjenengan anggap seperti kalimat-kalimat “enak ya…” diatas, Ambyarrr hatikuu tuu….

7. Siswa Salah Perlu Dibenarkan, Bukan Malah Disalahkan (Salah Kuadrat)
Semua manusia berpotensi berbuat baik. Hal ini sesuai Teori Tabularasa dari John Locke dan Francis Bacon. Teori ini mengatakan bahwa anak yang baru dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai kertas putih yang belum ditulisi (a sheet ot white paper avoid of all characters). Kanjeng Nabi Muhammad SAW pun telah bersabda bahwa “Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah”. Carl Rogers, juga berpendapat bahwa Manusia itu bersifat positif. Ia mempercayai bahwa manusia memiliki dorongan untuk selalu bergerak ke muka, berjuang untuk berfungsi, kooperatif, konstrukstif dan memiliki kebaikan pada inti terdalam tanpa perlu mengendalikan dorongan-dorongan agresifnya.

Kesalahan atau hal kurang benar yang dilakukan siswa itu bisa dikembalikan ke jalur yang benar dengan cara tidak menyalahkan. Kalau hal salah, tetapi malah tambah disalahkan akan jadi salah dobel-dobel kan? Bahkan teori konseling postmodern langsung menuju solusi, tidak bertele-tele dalam membahas masalah. Maka, kesalahan harus kita benarkan. Bukan membenarkan dalam arti menyetujui apa yang siswa perbuat, tapi membenarkan, maknanya adalah menjadikan benar. Mbulet? Bingung? Sama, saya juga.

Baca juga:

“Purna Siswa Virtual Kelas IX SMP Negeri 10 Surabaya 2019-2020: “Melangkah Pasti dan Berprestasi”

8. Siswa Bersalah Perlu Didampingi, Bukan Dihakimi (Advokasi)
Berlanjut dari nomor 7 diatas, karena manusia itu mempunyai hati nurani untuk mengarah ke kebaikan, jika ia berbuat salah, maka selain bukan untuk tambah disalahkan, juga perlu untuk didampingi. Ketika berbuat salah, hati kecil seseorang pasti akan ‘protes’. Saya analogikan di persidangan, disini peran BK adalah sebagai Advocat siswa, pengacara, pembela. Bukan malah sebagai hakim yang menjatuhkan vonis dan hukuman atau jaksa yang menuntut hukuman yang lebih berat. Jadi, sebenarnya BK bukan pihak yang menyeramkan, bukan? Justru sebagai pihak yang baik hati, ramah, ringan membantu, tidak sombong dan gemar menabung.

9. BK Adalah Aktivitas Menerima, Mendengarkan dan Mengarahkan, Bukan Menasehati
Kita tentu sangat familier dan paham mengenai paradigma student centerred atau pendidikan berpusat pada siswa. Dalam Bimbingan dan Konseling pun juga begitu. Otoritas pengambilan keputusan dan tanggung jawab dalam pemecahan masalah berada di tangan client, atau konseli, dalam hal ini adalah siswa. Inilah yang disebut paradigma Konseling Berpusat Pada Pribadi/ Client Centered.

Baca juga:

“Sinau Bareng Google Suite for Education, SMAN 20 Surabaya Kunjungi SPENLUSA”

Maka, Konselor atau Guru BK bukanlah pihak yang dominan dalam konselingnya bersama siswa. Konselor harusnya lebih banyak mendengarkan, memberikan penerimaan dan kondisi fasilitatif, lalu mengarahkan agar siswa bisa membuat keputusan yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Bahkan, menurut Rogers, penghargaan positif tanpa syarat (unconditional positive regard) dapat mengubah konsep diri siswa. Jika BK hanya dianggap kegiatan menasehati saja, semua orang ya bisa. Tanpa perlu kuliah 4 tahun. (Saya 4,5 tahun, maaf curcol dikit).

10. BK Bukan Sekedar Sahabat Siswa, Tapi “Bolo” Siswa
Sudah banyak tagline “BK Sahabat Siswa” dengan tujuan untuk merubah citra BK dimata siswa dan masyarakat. Hal itu sangat-sangat bagus. Memang harus demikian, BK menjadi sahabat siswa, dekat dengan siswa, menjadi tempat sambat bagi siswa. Namun, bagi saya, tagline itu harus ditambah. Tidak hanya sahabat siswa, tapi “Bolone Siswa”. Karena saking luhurnya Bahasa Jawa, saya kesulitan menemukan padanan dari kata “Bolo”, yang jelas “Bolo” itu maknanya lebih dari sekedar teman atau sahabat.

“Bolo” adalah orang yang selalu membela, melindungi, selalu dalam keadaan solidaritas tinggi, dan selalu siap membantu. Maka, BK Bukan Sekedar Sahabat Siswa, Tapi “Bolo” Siswa.

Dian Eko Restino
Dian Eko Restino mendampingi lomba Paskib siswa.

Penulis : Dian Eko Restino/ @dian_eko_restino
Editor : Nazilatul Maghfirah/ @zila_fira
Publisher : Wid Dwi Bowo/ @tvpendidikan_official

8 thoughts on “BK, (B)ukan (K)eranjang Sampah (Eps.2)

  1. Good…sgt bermanfaat untuk memberi pemahaman kepada guru mapel kepsek dan para wakasek tentang posisi bk sesungguhnya di sekolah yang selama ini selalu dipertentangkan dan sangat keliru..

    1. Mudah-mudahan, SMP NEGERI 10 Bisa menerapkan BK Ideal, Aamiin. Ini Sangat PENTING agar guru di sekolah lain bisa mencontoh kinerja BK yang ideal..

  2. “Bolo” adalah orang yang selalu membela, melindungi, selalu dalam keadaan solidaritas tinggi, dan selalu siap membantu. Maka, BK Bukan Sekedar Sahabat Siswa, Tapi “Bolo” Siswa.

  3. “Bolo” adalah orang yang selalu membela, melindungi, selalu dalam keadaan solidaritas tinggi, dan selalu siap membantu. Maka, BK Bukan Sekedar Sahabat Siswa, Tapi “Bolo” Siswa.

  4. “BOLO”adalah orang yang selalu membela,melindungi,selalu dalam keadaan solidaritas tinggi,dan selalu siap membantu.Maka BK bukan sekedar sahabat siswa,tapi “BOLO”siswa.

  5. ” Bolo” adalah orang yang selalu menjadi pelindung, pembela dan siap membantu. Jadi bk bukan sekedar sahabat siswa tp juga”bolo” siswa

  6. “Bolo” adalah orang yg menjadi pelindung, pembela dan siap membantu siswa kapan saja. Jadi “bolo” bukan sekedar sahabat siswa tp juga menjadi bolo siswa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *